Riwayat Hidup Eyang Suro Dwiwiryo


Ki Ngabehi Soerodwirdjo/ Masdan lahir pada hari Sabtu Pahing 1869, beliau adalah keturunan dari bupati Gresik. Ayahnya bernama Ki Ngabehi Soeromiharjo adalah manteri cacar Ngimbang-Lamongan yang memiliki 5 putera, yaitu: Ki Ngabehi Soerodwirjo (Masdan), Noto/Gunari (di Surabaya), Adi/ Soeradi (di Aceh), Wongsoharjo (di Madiun), Kartodiwirjo (di Jombang). Saudara laki2 dari ayahnya R.A.A Koesomodinoto menjabat sebagai bupati Kediri. Seluruh keluarga ini adalah keturunan dari Batoro Katong dari Ponorogo (Putra Prabu Brawijaya Majapahit).
Pada tahun 1883 beliau lulus sekolah rakyat 5 tahun, selanjutnya ikut saudara ayahnya Ki Ngabehi Soeromiprojo yang menjabat sebagai Wedono Wonokromo kemudian pindah sebagai Wedono Sedayu-Lawas Surabaya. Saat berumur 15 tahun beliau magang menjadi juru tulis Op Het Kantoor Van De Controleur Van Jombang, disana sambil belajar mengaji beliau juga belajar pencak silat yang merupakan dasar dari kegemaranya untuk memperdalam pencak silat di kemudian hari.
Pada tahun 1885 beliau magang di kantor Kontroleur Bandung, dari sini beliau belajar pencak silat kepada pendekar2 periangan/pasundan sehingga didapatlah jurus2 seperti: Cimande, Cikalong, Cipetir, Cibaduyut, Cilamaya, Ciampas, Sumedangan.
Pada usia 17 tahun (1886) beliau pindah ke Batavia/ Jakarta, dan memanfaatkan untuk memperdalam pencak silat hingga menguasai jurus2: Betawen, Kwitang, Monyetan, Permainan toya (stok spel).
            Pada 1887 beliau ikut kontrolir belanda ke Bengkulu, disana beliau belajar gerakan2 mirip jurus2 dari Jawa barat. Pertengahan tahunnya ikut kontroler belanda ke Padang, dan bekerja tetap pada bidang yang sama. Didaerah Padang hulu dan hilir beliau mempelajari gerakan2 yang berbeda dari pencak Jawa. Selanjutnya beliau berguru kepada Datuk Raja Betuah seorang pendekar dan guru kebatinan dari kampung Alai, Pauh, kota Padang. Pendekar ini adalah guru yang pertama kali di Sumatera Barat. Datuk Raja Betuah mempunyai kakak bernama Datuk Panghulu dan adiknya bernama Datuk Batua yang ketiganya merupakan pendekar termasyur dan dihormati masyarakat.
            Pada usia 28 tahun beliau jatuh cinta kepada seorang gadis padang, puteri seorang guru ilmu kebatinan yang berdasar islam (tasawuf). Untuk mempersunting gadis ini beliau harus memenuhi bebana, dengan menjawab pertanyaan dari sang gadis pujaan yang berbunyi "SIAPAKAH MASDAN INI" dan "SIAPAKAH SAYA INI". Karena tidak bisa menjawab pertanyaan itu dengan pikiranya sendiri maka beliau berguru kepada seorang ahli kebatinan bernama Nyoman Ida Gempol yaitu seorang punggawa besar kerajaan bali yang dibuang belanda ke padang. Ia dikenal dengan nama Raja Kenanga Mangga Tengah (bandingkan dengan nama desa Winongo-Madiun-Tengah-Madya). Dari sini Ki Ngabehi mendapat falsafah TAT TWAM ASI(ia adalah aku).
            Kemudian pada tahun yang sama beliau belajar pencak silat selama 10 tahun kepada pendekar Datuk Raja Batuah dan mendapat tambahan jurus2 dr daerah padang, antara lain: Bungus (uit de haven van teluk bayur), Fort de Kock, Alang-lawas, Lintau, Alang, Simpai, Sterlak. Sebagai tanda lulus beliau mempersembahkan pisungsun berupa pakaian hitam komplit.
            Selanjutnya ilmu yang diperoleh dari Nyoman Ida Gempol disatukan dengan pencak silat serta ilmu kebatinan yang diperoleh dari Datuk Raja Batuah sehingga menjadi aliran pencak silat baru yang nantinya oleh Ki Ngabehi Soerodiwirjo dinamakan SETIA HATI.

Akhirnya bebana yang diminta gadis pujaan beliau dapat dijawab dengan ilmu dr setia hati diatas dan gadis itu menjadi istri beliau, tetapi dari perkawinan ini belum mempunyai keturunan.
            Pada usia 29 tahun beliau bersama istrinya pergi ke Aceh dan bertemu adiknya yang bernama Soeradi yang menjabat sebagai kontrolir DKA di LhoukSeumawe, didaerah ini beliau mendapat jurus kucingan dan permainan binja. Pada tahun tersebut guru besar beliau Raja Kenanga Mangga Tengah diizinkan pulang ke bali. Ilmu beliau dapat dinikmati saudara2 SH dengan motto "GERAK LAHIR LULUH DENGAN GERAK BATIN" "GERAK BATIN TERCERMIN OLEH GERAK LAHIR".Tahun 1900 Ki Ngabehi kembali ke betawi bersama istrinya dan beliau bekerja sebagai masinis stoom wals. Kemudian beliau bercerai, dimana ibu Soerodoworjo pulang ke padang dan beliau ke bandung.Tahun 1903 KiNgabehi kembali ke Surabaya dan menjabat sebagai polisi dienar hingga mencapai pangkat sersan mayor. Di Surabaya beliau terkenal dengan keberanianya menumpas kejahatan, kemudian beliau pindah ke ujung dimana sering terjadi keributan antara beliau dengan pelaut2 asing.
            Pada tahun ini beliau mendirikan persaudaraan SEDULUR TUNGGAL KECER-LANGEN MARDI HARDJO (Djojo Gendilo) pd Jum'at legi 10 Suro 1323 H.Pada tahun 1905 untuk kedua kalinya beliau melangsungkan pernikahan yaitu dengan ibu Sarijati yang saat itu berusia 17 tahun, dari pernikahan ini mendapatkan 3 orang putra dan 2 orang putri dimana semuanya meninggal sewaktu masih kecil.Beliau berhenti dari polisi Dienar (1912) bersamaan dengan meluapnya rasa kebangsaan Indonesia yang dimulai sejak tahun 1908. Beliau kemudian pergi ke Tegal ikut seorang paman dari almarhum saudara Apu Suryawinata yang menjabat sebagai Opzichter Irrigatie.Tahun 1914 beliau kembali ke Surabaya dan bekerja pd DKA Surabaya, selanjutnya pindah ke Madiun di Magazijn DKA dan menetap di desa Winongo, Madiun.Persaudaraan DJOJOGENDILO CIPTO MULJO diganti nama menjadi Persaudaraan "Setia Hati" Madiun pada tahun 1917. Tahun 1933 beliau pensiun dari jabatanya dan menetap di desa Winongo, Madiun.Tahun 1944 beliau jatuh sakit dan akhirnya wafat pada hari jum'at legi 10 Nov 1944 jam 14.00 (bulan Selo tanggal 24 tahun 1364 H) di rumah kediaman beliau di Winongo, dan di makamkan di pasarean Winongo degnan Kijing batu nisan granik dan dikelilingi bunga melati.

Pesan beliau sebelum wafat :
  1. Jika saya sudah berpulang keRahmatullah supaya saudara2 SH tetap bersatu hati, tetap rukun lahir batin;
  2. Jika saya meninggal dunia harap saudara2 SH memberi maaf kepada saya dengan tulus ikhlas;
  3. Saya titip ibunda Nyi Soerodiwirjo selama masih hidup di dunia fana ini;
  4. Al-Qur'an Surat Yasin ayat 1 & 58
Labels: Budaya dan Wisata

Thanks for reading Riwayat Hidup Eyang Suro Dwiwiryo. Please share...!

0 Comment for "Riwayat Hidup Eyang Suro Dwiwiryo"

Back To Top